Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan disahkan di Indonesia untuk menangani berbagai masalah kesehatan di negara dengan populasi 278 juta. Undang-undang ini dirancang agar sesuai dengan Rencana Transformasi Kesehatan Indonesia, yang memiliki enam pilar utama: transformasi pelayanan kesehatan primer, pelayanan kesehatan rujukan, ketahanan kesehatan, pendanaan kesehatan, sumber daya manusia, dan teknologi kesehatan. Rancangan undang-undang ini menggunakan strategi 'omnibus', teknik legislasi yang menggabungkan dan mengubah 13 undang-undang kesehatan yang ada menjadi satu undang-undang dengan 458 pasal dalam waktu kurang dari 12 bulan. Strategi ini sebelumnya diterapkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja, yang menghasilkan protes yang signifikan.
Strategi 'omnibus' sering dianggap merugikan karena dapat
menghindari proses legislasi yang inklusif. Undang-undang ini bertujuan untuk
menetapkan komitmen dan tujuan, mengatur fitur utama dari sistem kesehatan, dan
mendorong kerja sama multisektor. Namun, dengar pendapat publik yang hanya
berlangsung selama dua minggu dipandang sebagai formalitas daripada proses
penilaian yang mendalam. Hal ini mengakibatkan penolakan dan ketidakpercayaan
dari masyarakat serta profesional kesehatan. Proses tersebut kurang melibatkan partisipasi
publik yang konstruktif, yang penting untuk mendorong demokrasi, akuntabilitas,
keterbukaan, dan penyesuaian solusi dengan kebutuhan masyarakat.
Selain itu, undang-undang ini mencabut kewajiban untuk
mengalokasikan 5% dari anggaran nasional dan 10% dari anggaran subnasional
untuk program kesehatan, sehingga mengurangi kemungkinan komitmen politik
terhadap pengeluaran kesehatan. Pemerintah mengklaim bahwa kewajiban ini tidak
efisien karena alokasi sumber daya tidak sesuai dengan kebutuhan sebenarnya,
dan hanya 61% dari dana yang dikirim dari pemerintah pusat ke daerah yang
digunakan secara efektif. Tujuannya adalah untuk mengarahkan dana kesehatan
secara eksklusif ke proyek-proyek yang sah melalui tujuan Induk Kesehatan
(RIBK), yang belum dikembangkan.
Desentralisasi sistem kesehatan dan kekurangan kapasitas
dapat memperburuk ketimpangan, terutama setelah pemilihan politik besar,
sehingga masalah kesehatan menjadi komoditas politik. Penting untuk membuat
rencana induk kesehatan berbasis bukti yang mencakup arahan yang jelas dan
keterlibatan aktif. Selain itu, rancangan undang-undang ini tampaknya
mengabaikan topik penting seperti pengendalian tembakau, yang menunjukkan
kurangnya komitmen terhadap masalah kesehatan dasar. Dinamika seputar rancangan
undang-undang ini harus memberi pelajaran penting tentang bagaimana sistem
kesehatan berinteraksi dengan kerangka regulasi dan tata kelola, menekankan
pentingnya pendekatan berbasis bukti dan partisipasi publik dalam membangun
sistem kesehatan yang berhasil (diringkas oleh Nadine Maryam Putri M).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar